
DIREKTUR Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri meminta pemerintah memperkuat regulasi untuk menggenjot investasi di sektor hulu minyak dan gas atau migas. Landasan hukum yang kuat dibutuhkan karena investasi di sektor ini terus menurun akibat tekanan harga minyak yang menggerus keuntungan perusahaan.
Ia mengatakan penguatan regulasi dapat dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-undang Migas atau RUU Migas yang sedang dibahas Komisi XII DPR. “Tanpa regulasi yang kuat, daya tarik investasi akan terus melemah dan ketahanan energi ikut terancam,” ujar Simon dalam rapat dengar pendapat, Senin, 17 November 2025.
Menurut dia, industri hulu migas kini bekerja keras menahan laju penurunan produksi yang terjadi secara alami. Namun upaya tersebut tidak cukup tanpa kepastian kebijakan jangka panjang.
Berdasarkan data Kementerian ESDM 2024, produksi minyak nasional hanya mencapai 212 juta barel, sementara impor mencapai 330 juta barel yang terdiri atas 128 juta barel minyak mentah dan 202 juta barel BBM.
Untuk memperkuat sektor hulu, Simon mengusulkan pembentukan petroleum fund yang dikelola Badan Usaha Khusus Migas. Dana tersebut dapat digunakan untuk eksplorasi, pembangunan infrastruktur, hingga program dekarbonisasi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XII DPR Sugeng Suparwoto menyampaikan RUU Migas masuk dalam daftar prioritas legislasi dan ditargetkan rampung tahun ini. RUU tersebut juga mencakup pembentukan badan baru pengganti SKK Migas serta pengaturan program untuk meningkatkan lifting minyak.
Pembentukan badan khusus merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas pada 2012. Sejak itu, pengelolaan hulu migas sementara dialihkan kepada SKK Migas yang bersifat ad hoc dan belum memiliki landasan undang-undang.
Ketua Umum Serikat Pekerja SKK Migas Afriandi Eka Prasetya turut menyoroti perlunya reformasi sistem perizinan dan tata ruang agar pengelolaan migas lebih efisien serta tidak tumpang tindih dengan sektor lain. Ia menilai negara lain seperti Malaysia dan Iran berhasil membangun model lembaga tunggal yang memudahkan investor.
“Kami ingin Indonesia memiliki lembaga yang menjadi pintu masuk tunggal bagi investor, seperti Petronas di Malaysia,” katanya dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR, 30 Juni 2025.
Ia menyebut Indonesia berada di posisi kurang kompetitif dengan hanya satu dari 14 proyek migas yang menarik minat investor. Model pengelolaan yang berlaku saat ini juga dinilai menciptakan ketidakpastian hukum serta memperumit koordinasi lintas kementerian.
Ia mengusulkan reformasi hubungan antara pemerintah dan pelaku usaha. Saat ini, kontrak kerja sama dilakukan dalam bentuk government to business (G to B) melalui SKK Migas. Skema itu lebih tepat diubah menjadi business to business (B to B) dengan menunjuk badan usaha khusus yang sah sebagai pemegang konsesi migas.
“Negara memberi konsesi kepada badan usaha khusus, lalu badan usaha itu yang bermitra secara bisnis dengan investor,” ujarnya.
Pilihan Editor: Investasi Jumbo demi Target 1 Juta Barel
