Jakarta – Percepatan penyelesaian perjanjian Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) mendesak untuk segera direalisasikan. Hal ini diungkapkan oleh Riandy Laksono, seorang Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang melihat kemitraan ekonomi dengan Uni Eropa ini sebagai peluang emas bagi diversifikasi pasar ekspor Indonesia. Di tengah ketidakstabilan geoekonomi global, terutama akibat kebijakan tarif yang diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, langkah ini menjadi sangat strategis.
“Walaupun sangat tersandera dengan kondisi sekarang ini, namun peluang untuk diversifikasi pasar masih terbuka lebar,” ujar Riandy di Gedung Pakarti, Kamis, 10 Juli 2025. Ia menyoroti kecenderungan pemerintah Indonesia untuk mengekspor barang mentah ke Amerika Serikat. Padahal, potensi pengalihan produk unggulan ke pasar Eropa dapat secara signifikan mengurangi risiko kehilangan devisa negara.
Riandy menyebut beberapa komoditas utama yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan negara, seperti crude palm oil (CPO), kakao, dan karet. Selain itu, sektor tekstil dan produk tekstil, mencakup apparel, fabric, dan yarn, bersama komponen elektronik serta hasil perikanan seperti udang dan tuna, juga memberikan kontribusi besar. Menurutnya, pasar Eropa menunjukkan permintaan yang jauh lebih besar terhadap jenis-jenis produk ini dibandingkan dengan Amerika Serikat, menjadikannya destinasi ekspor yang sangat menjanjikan.
Perkembangan terkait IEU CEPA juga telah mencapai tahap krusial. Sebelumnya, pada 6 Juni 2025, pemerintah Indonesia telah membahas finalisasi perjanjian ini dalam pertemuan di Brussels, Belgia, bersama European Union Commissioner for Trade and Economic Security, Maros Sefcovic. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers via Zoom pada Sabtu, 7 Juni 2025, mengumumkan bahwa negosiasi antara Indonesia dan Uni Eropa telah memasuki tahap akhir. “Tujuannya untuk membuka pasar, peningkatan perdagangan dan investasi yang saling menguntungkan. Serta mengurangi trade barrier, baik itu dalam bentuk tarif maupun non-tariff barrier,” jelas Airlangga.
Lebih lanjut, Riandy menekankan pentingnya membawa perjanjian ini ke level kawasan ASEAN. Langkah ini vital guna mencegah terciptanya semangat diskriminatif yang berpotensi merusak rantai pasok regional. CSIS, tambahnya, telah merekomendasikan dua jalur kebijakan strategis: diplomasi serta diversifikasi perdagangan dan investasi. “Negosiasi, saya bisa sampaikan di sini yes teruskan, namun jangan sampai kerangka perdagangannya itu diskriminatif,” tegas Riandy.
Ia juga mendorong pemerintah untuk proaktif menghindari disrupsi yang mungkin timbul akibat kerangka perdagangan yang bersifat eksklusif. Menurut Riandy, diversifikasi pasar harus selaras dengan diversifikasi bahan baku, salah satunya melalui pembukaan peluang investasi yang lebih luas dan inklusif. “Uni Eropa merupakan alternatif pasar yang menjanjikan selain AS untuk tujuan ekspor produk andalan dalam negeri,” pungkas Riandy.
Riandy juga mengkritisi kebijakan investasi pemerintah Indonesia yang dinilainya terlalu bergantung pada diskresi. “Kebijakan investasi Indonesia sering kali bersifat discretion,” ujarnya. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah beralih ke pendekatan yang berbasis pada kepastian hukum. Hal ini diyakini akan lebih efektif dalam menarik investasi dari negara-negara maju, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Lobi Indonesia Tak Meluruhkan Trump Menurunkan Tarif Impor
