KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) secara resmi akan mengeluarkan delapan saham emiten beserta dua saham preferen dari daftar pencatatan mulai Senin, 21 Juli 2025. Keputusan ini datang sebagai pengingat keras bagi para investor, terutama mengingat ada lebih dari 40 saham lain yang kini berpotensi menyusul delisting dari bursa. Pertanyaan besar pun muncul: apa yang harus dilakukan investor ketika saham yang mereka miliki dihapus dari daftar bursa?
Keputusan penghapusan pencatatan saham atau delisting oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap delapan emiten dan dua saham preferen ini telah diumumkan tertanggal 18 Juli 2025, dengan efektif berlaku pada Senin, 21 Juli 2025. Langkah ini diambil karena emiten-emiten tersebut terjerat suatu kondisi atau peristiwa signifikan yang berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha mereka. Pengaruh negatif ini mencakup aspek finansial maupun hukum, dan sayangnya, emiten terkait tidak mampu menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Selain itu, alasan delisting juga mencakup kegagalan emiten dalam memenuhi persyaratan pencatatan di BEI, serta saham mereka yang telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan tunai, maupun di seluruh pasar, selama paling kurang 24 bulan terakhir. Ini menunjukkan adanya masalah fundamental yang mendalam pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Adapun saham-saham yang resmi terkena delisting meliputi PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI) beserta saham preferennya dengan kode MAMIP. Selanjutnya, ada PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ), kemudian PT Hanson International Tbk (MYRX) beserta saham preferennya berkode MYRXP. Daftar ini juga mencakup PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), dan yang terakhir adalah saham PT Nipress Tbk (NIPS).
Dengan dicabutnya status sebagai perusahaan tercatat, emiten-emiten ini tidak lagi memiliki kewajiban sebagaimana perusahaan terbuka pada umumnya, dan nama mereka akan dihapus dari daftar emiten BEI. Namun, ada secercah harapan: jika kelak delapan perusahaan ini berencana kembali mencatatkan sahamnya atau relisting di BEI, prosesnya dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku, meskipun ini bukanlah proses yang mudah.
Bagaimana Nasib Investor?
Bagi investor, situasi delisting ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar. Menanggapi hal ini, Analis sekaligus VP Marketing, Strategy & Planning Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, menegaskan bahwa emiten yang terkena delisting, baik secara sukarela (voluntary) maupun paksaan (forced), memiliki kewajiban untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham kepada pemegang saham publik. Ketentuan ini secara jelas tertuang dalam POJK No. 45/POJK.04/2024 dan sejalan dengan ketentuan BEI No. I-I, yang mewajibkan emiten menyampaikan informasi terkait upaya buyback tersebut.
Meski regulasi telah mengatur, realitas di lapangan kerap berbeda. Emiten yang tidak memiliki rencana buyback tetap akan menjalani proses delisting, dan dalam hal ini, dianggap tidak patuh terhadap ketentuan. Berdasarkan data yang diungkapkan Audi, dari 10 saham yang akan didepak dari bursa, hanya JSKW dan HDTX yang telah menyampaikan rencana buyback. Hal ini memberikan sedikit kesempatan bagi investor di kedua saham tersebut untuk melepas kepemilikan mereka sebelum resmi keluar dari papan perdagangan BEI. Sayangnya, delapan saham lainnya, termasuk MYRX, belum menunjukkan itikad baik dengan menyampaikan rencana buyback, yang membuat investornya tidak memiliki akses exit liquidity.
Audi juga menyoroti kelemahan regulasi saat ini. Ia menilai bahwa jika emiten yang mengalami forced delisting tidak menunjukkan itikad baik untuk melakukan buyback, tidak ada sanksi lanjutan yang bisa dikenakan. Dalam kondisi dilematis ini, langkah yang dapat diambil investor hanyalah memberikan penilaian negatif atau melakukan blacklist terhadap emiten beserta manajemennya yang dinilai tidak melindungi kepentingan investor. “Harapannya regulator dapat membantu gugatan lanjutan jika emiten forced delisiting dan tidak melakukan buyback sebagai exit liquidity investor tersebut,” ujar Audi kepada Kontan, Minggu (20/7), menyuarakan harapan para investor.
Untuk menghindari jebakan saham bermasalah di masa depan, Audi membagikan tiga saran penting bagi investor. Pertama, selalu perhatikan notasi khusus yang diberikan oleh BEI. Emiten yang memiliki indikasi pailit atau sedang menghadapi masalah serius sebaiknya dihindari sebagai opsi investasi. Kedua, lakukan analisis fundamental secara menyeluruh dan jangan ragu untuk berkonsultasi dengan penasihat keuangan, misalnya melalui layanan riset atau rekomendasi investasi dari anggota bursa yang terpercaya. Ketiga, selalu lakukan verifikasi informasi terhadap rumor atau spekulasi yang beredar terkait saham-saham bermasalah untuk menghindari keputusan investasi yang merugikan. Kewaspadaan adalah kunci utama.
Senada dengan Audi, Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Indonesia, Fath Aliansyah Budiman, juga mengingatkan para investor dan pelaku pasar untuk mencermati perkembangan kinerja keuangan emiten setiap kuartal. Pengamatan rutin ini krusial guna menghindari risiko terjebak pada saham-saham yang berpotensi delisting di kemudian hari. “Kenaikan penjualan harus disertai dengan kenaikan arus kas operasi atau ekspansi yang agresif, serta kenaikan liabilitas harus disertai dengan kemampuan untuk pembayaran bunga atau pengembalian pokok pinjaman,” tambah Fath kepada Kontan, Minggu (20/7), menekankan pentingnya kualitas pertumbuhan finansial.
Komposisi Kepemilikan Saham
Berikut adalah rincian komposisi kepemilikan saham dari delapan emiten yang akan delisting:
1. PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI)
Per 30 November 2022, Brentfield Investment Limited memegang 3,4 miliar saham (27,63%), PT Sentratama Kencana 791,66 juta saham (6,43%), investor publik 7,53 miliar saham (61,2%), dan pemodal asing 582,42 juta saham (4,73%).
2. PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ)
Per 30 April 2021, komposisi kepemilikan saham FORZ terdiri dari masyarakat sebanyak 1,09 miliar saham atau setara 55,22%, Freddy Setiawan sebanyak 342,04 juta saham (17,24%), PT Forza Indonesia 244,22 juta saham (12,31%), Reksa Dana Narada Saham Indonesia 162,9 juta saham (8,21%), BP25 SG/BNP Paribas Singapore Branch Wealth Management 134,23 juta saham (6,77%), dan BOS LTD S/A Freddy Setiawan 5 juta saham (0,25%).
3. PT Hanson International Tbk (MYRX)
Hingga 31 Desember 2019, jumlah kepemilikan saham MYRX terdiri dari PT Asabri 4,68 miliar saham (5,4%), Benny Tjokrosaputro 3,68 miliar saham (4,25%), dan masyarakat di bawah 5% sebanyak 78,33 miliar saham (90,34%).
4. PT Grand Kartech Tbk (KRAH)
Dari struktur pemegang saham KRAH per 31 Mei 2021, PT Sutardja Dinamika Cipta memegang 697,54 juta saham (71,82%), PT Swastika Muliaja 66,62 juta saham (6,86%), Antonius Gunawan Gho 52,6 juta saham (5,42%), PT Adrindo Inti Perkasa 48,92 juta (5,04%), dan masyarakat 105,49 juta (10,86%).
5. PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS)
Per efektif 30 September 2022, kepemilikan saham KPAS terdiri dari Marting Djapar 215 juta saham (27,99%), Jeanny Ariestina Halim 115,4 juta (15,03%), Hendry Ligiono 65,4 juta saham (8,52%), Albert Yan Katili 50 juta saham (6,51%), Stella 50 juta saham (6,51%), masyarakat pemodal domestik 270,27 juta saham (35,18%), dan masyarakat pemodal asing 1,96 juta saham (0,26%).
6. PT Steadfast Marine Tbk (KPAL)
Jumlah komposisi kepemilikan saham KPAL per 31 Juli 2020 ialah Eddy Kurniawan Logam sebanyak 212,86 juta saham (19,91%), Rudy Kurniawan Logam 143 juta saham (13,38%), Yusnita Logam 128,433 juta saham (12,01%), serta investor publik sebanyak 584,7 juta (54,7%).
7. PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS)
Hingga 31 Januari 2024, PRAS memiliki komposisi pemegang saham yang terdiri dari Enmaru International sebanyak 379,04 juta saham (54,07%), masyarakat warkat 287,48 juta saham (41,01%), dan masyarakat non warkat 34,51 juta saham (4,92%).
8. PT Nipress Tbk (NIPS)
Terakhir, ada NIPS yang memiliki struktur kepemilikan saham per 30 Juni 2025, antara lain PT Trinitan Internasional sebesar 389,97 juta saham (23,84%), Trimegah Sekuritas Indonesia 196,31 juta saham (12%), PT Tritan Adhitama Nugraha 170,9 juta saham (10,45%), PT Indolife Pensiontama 124,05 juta saham (7,58%), Ferry J Robertus Tandiono 87,14 juta saham (5,32%), masyarakat non warkat 5,99 miliar saham (36,68%), dan masyarakat warkat 67 juta saham (4,09%).
Saham berpotensi delisting
Situasi ini semakin serius dengan adanya daftar 55 emiten yang berpotensi dikeluarkan dari bursa. Berdasarkan data BEI per 30 Juni 2025, saham-saham ini telah disuspensi selama enam bulan atau lebih, dan angka ini mencakup delapan saham yang baru-baru ini delisting. Potensi delisting massal ini menuntut perhatian ekstra dari investor.
Ke-55 emiten yang sahamnya berpeluang delisting antara lain: ALMI, ARMY, ARTI, BIKA, BOSS, BTEL, CBMF, COWL, CPRI, DEAL, DUCK, ENVY, ETWA, GAMA, GOLL, HKMU, HOME, HOTL, IIKP, INAF, IPPE, JSKY, KAYU, KBRI, LCGP, LMAS, MABA, MAGP, MKNT, MTRA, NUSA, PLAS, POLL, dan POOL. Selain itu ada POSA, PPRO, PURE, RIMO, SBAT, SIMA, SKYB, SMRU, SRIL, SUGI, TDPM, TECH, TELE, TOPS, TOYS, TRAM, TRIL, TRIO, UNIT, WMPP, dan WSKT.
Spektrum emiten yang masuk radar delisting ini sangat luas, mencakup berbagai sektor industri vital, mulai dari finansial, infrastruktur, konsumer, teknologi, energi, properti, kesehatan, barang dasar, hingga industrial. Hal ini menunjukkan bahwa masalah keberlanjutan usaha dapat melanda sektor mana pun, tanpa terkecuali.
Dari deretan saham yang disorot tersebut, muncul nama-nama besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Perusahaan tekstil raksasa ini telah dinyatakan pailit setelah gagal bayar utang dan terus mengalami penurunan kinerja akibat tekanan di industri tekstil global. Selain itu, ada pula beberapa emiten BUMN atau anak usaha BUMN yang turut terancam hilang dari bursa, yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Indofarma Tbk (INAF), dan PT PP Properti Tbk (PPRO). Ini menjadi indikasi bahwa bahkan perusahaan dengan dukungan pemerintah pun tidak kebal terhadap risiko delisting.
Menanggapi ancaman ini, manajemen WSKT sendiri telah menyusun dua rencana restrukturisasi ambisius sebagai upaya agar suspensi saham WSKT dicabut. Pertama, restrukturisasi utang perbankan yang ditargetkan rampung pada Oktober 2024, di mana progresnya diklaim sudah mencapai 100%. Langkah ini diharapkan dapat menjadi kunci pemulihan bagi perusahaan.