Gadai BPKB

0c3713690c9289b361745b1593c04502

Alasan OJK terbitkan aturan buy now pay later

AA1T3gQE

OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 32 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Beli Sekarang Bayar Nanti (Buy Now Pay Later atau BNPL). Peraturan yang resmi berlaku pada 15 Desember 2025 ini mempertegas bahwa penyelenggara pay later hanya dapat dilakukan oleh bank umum dan perusahaan pembiayaan atau multifinance.

Dalam lembar Frequently Asked Questions di laman resmi OJK, terbitnya aturan ini dilatarbelakangi oleh maraknya perkembangan teknologi digital yang mendorong munculnya inovasi pembiayaan baru seperti BNPL. Sehingga, aturan ini diharapkan memberikan kepastian hukum, memperkuat manajemen risiko, dan ,emjaga stabilitas sektor jasa keuangan.

“Dalam rangka memitigasi risiko seperti potensi gagal bayar, ketidakseimbangan informasi, serta risiko operasional dan sistemik akibat pemanfaatan teknologi digital, diperlukan pengaturan khusus untuk memastikan BNPL diselenggarakan dengan prinsip kehati-hatian, pelindungan konsumen, dan tata kelola yang baik,” tulis OJK dalam lembar FAQ, dikutip Jumat, 26 Desember 2025.

Berdasarakan aturan tersebut, penyelenggaraan pay later dapat dilakukan secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah sesuai ketentuan yang berlaku. Beberapa poin yang diatur dalam POJK ini di antaranya tentang prinsip kehati-hatian dan pelindungan konsumen, kebijakan khusus dalam penilaian kelayakan pemberian pembiayaan BNPL, dan prinsip pelindungan data pribadi.

Selain itu, diatur pula kerja sama penyelenggaraan pay later dengan pihak lain, keterbukaan informasi, penagihan hingga pelaporan. “Bank umum dapat menyelenggarakan BNPL mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan bagi bank, sementara perusahaan pembiayaan wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK sebelum menyelenggarakan layanan BNPL,” ucap Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK M. Ismail Riyadi lewat keterangan resmi, Rabu, 24 Desember 2025.

Pilihan Editor: Mengapa Kredit Bank Seret Meski Ada Dana Rp 200 Triliun