Gadai BPKB

c14cb5c0b4ee44a1628c86f12ef446df

Beda Redenominasi Rupiah dengan Sanering era Sukarno

AA1CqPZL

MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) soal penyesuaian nilai mata uang atau redenominasi rupiah. Wacana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70 tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 yang diundangkan pada 3 November 2025.

Redenominasi adalah pemangkasan atau penyederhanaan nilai mata uang tanpa memengaruhi nilai tukarnya. Wacana ini mirip dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang yang dilakukan pemerintah di era Presiden Sukarno lewat Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965. Dua metode itu sama-sama mengurangi jumlah digit dalam nominal rupiah. Lantas apa perbedaannya?

Pertama redenominasi dilakukan untuk efisiensi mata uang tanpa membuat daya beli atau purchasing power rupiah anjlok. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan contohnya adalah penyesuaian nominal Rp 1.000 yang setelah redenominasi menjadi Rp 1. Dengan uang Rp 1, masyarakat masih bisa membeli barang dengan nilai Rp 1000. “Redenominasi tidak membuat purchasing power rupiah menurun,” ujarnya.

Sedangkan sanering di era Soekarno adalah pemotongan mata uang yang sekaligus menurunkan purchasing power dari rupiah. Nilai dari mata uang ikut turun. Meskipun masyarakat menggenggam uang baru, daya beli uang tersebut anjlok secara drastis karena harga barang tetap tinggi. Misal uang nilai Rp 1.000, ketika nilainya dipotong, uang baru itu tak lagi bisa membeli barang dengan nilai yang sama.

Perbedaan selanjutnya adalah pada tujuannya. Tujuan utama redenominasi, mengutip laman Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Sedangkan kebijakan sanering di era 1965 dilakukan untuk mengurangi peredaran rupiah dan mengatasi masalah hiperinflasi.

Meski demikian, Celios menilai redenominasi rupiah belum diperlukan di kondisi ekonomi saat ini. Musababnya, butuh biaya tinggi untuk redenominasi yang harus ditanggung oleh negara dan swasta. Swasta akan menanggung biaya untuk penyesuaian sistem kerja. Ada biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai ratusan miliar yang ditanggung oleh ekonomi.

Selain itu, redenominasi rupiah juga bisa jadi masalah ketika pemahaman masyarakat tak seragam. Sebagai contoh, jika suatu barang seharusnya disederhanakan harganya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, tetapi pedagang tetap menjual barangnya seharga Rp 1.000 karena tidak paham, hal ini secara efektif menaikkan harga barang seribu kali lipat.

Pilihan Editor: Penyebab Bisnis Industri Tekstil Makin Lesu