SUARA mesin terdengar nyaring di sebuah hanggar seluas 850 meter persegi di dalam Lapas Kelas I Tangerang, Banten, pada Senin, 3 November 2025. Di tengah deru suara mesin pencetak paving blok dan batako itu, puluhan warga binaan pemasyarakatan (WBP) tampak sibuk mencampur semen, pasir, dan abu dari sisa pembakaran batu bara.
Campuran adonan itu kemudian dimasukan ke dalam tiga mesin yang bersuara nyaring memecah siang yang panas. Tak butuh waktu lama, belasan paving blok keluar dari mesin pencetak dalam sekali cetak. Paving blok yang sudah jadi itu lalu ditata menggunakan nampan plastik menjadi tumpukan yang tersusun rapi dan dijemur di tempat terbuka.
Produksi batako dan paving blok yang beroperasi setiap hari ini melibatkan sekitar 40 narapidana Lapas tersebut. Mereka terbagi dalam dua kelompok, yaitu tim produksi dan tim pasca produksi. Di bagian produksi, sebanyak 21 orang WBP mengendalikan tiga mesin produksi batako dan paving blok. Setiap mesin produksi beranggotakan 7 personel dengan tugas mencampur adonan dan memasukan adonan ke dalam mesin cetak.
Selanjutnya tim pasca produksi yang beranggotakan 18 orang WBP bertugas mengangkut dan menjemur paving blok dan batako yang telah dicetak tersebut.
Opossi Sottima, 52 tahun, satu dari 40 narapidana yang ikut dalam produksi batako dan paving block itu mengaku senang dan banyak yang ia pelajari bekerja di tempat itu. Kini ia sudah terampil membuat bahan bangunan itu.
“Saya sudah bergabung di sini satu bulan ini. Saya suka dan sangat bersemangat bekerja,” ujar warga negara asing asal Afrika ini saat ditemui Tempo di lokasi.
Napi kasus sabu 7 kilogram yang divonis 14 tahun penjara ini mengatakan mendapatkan banyak hal positif bekerja di dalam penjara itu. “Sambil menjalani masa tahanan saya yang sudah berjalan 6 tahun 9 bulan, saya belajar, bekerja dan bisa menabung dari gaji hasil bekerja di sini,” kata Opussi.
Dia mengaku mendapatkan upah Rp 100 ribu per pekan. Uang itu ia tabung untuk bekal usaha. “Setelah saya bebas nanti, saya ingin membuat pabrik seperti ini di tempat tinggal saya di Afrika,” ucapnya sambil menata hasil cetakan yang baru keluar dari mesin.
Warga Binaan Pemasyarakatan membuat paving blok dan batako di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang , 3 November 2025. Tempo/Joniansyah Hardjono
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang Beni Hidayat mengatakan, semua WBP yang terlibat dalam produksi batako dan paving blok ini dianggap sebagai pekerja dan mendapatkan upah dari hasil pekerjaanya. “Sistemnya mereka mendapatkan premi, per bulannya setiap WBP yang bekerja bisa mendapatkan sekitar Rp 1 juta per orang,” kata Beni.
WBP yang dipekerjakan, kata Beni, sebelumnya sudah mendapatkan pelatihan dan bimbingan.
Produksi Skala Industri
Beni mengatakan, workshop itu kini mengoperasikan tiga mesin cetak besar, dua untuk paving blok dan satu untuk batako. Setiap harinya, sekitar 7.000 keping paving blok dan 1.600 batako diproduksi. “Karena ini sudah skala industri, produksi terus meningkat, kami berencana membagi pekerjaan dalam dua shift dan melibatkan lebih banyak lagi WBP,” kata Beni.
Menurut Beni, pesanan produk paving blok Lapas Tangerang saat ini terus meningkat. Dan produk ini telah digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari lapangan padel di Jakarta, area internal Lapas, hingga pesanan beberapa perusahaan swasta.
“Harga jualnya pun lebih kompetitif, karena memanfaatkan bahan lokal dan tenaga kerja binaan,” kata Beni.
Menariknya, bahan utama pembuatan bukan hanya semen dan pasir, tapi juga limbah batu bara dari PLTU Lontar Tangerang yang diolah menjadi campuran pengganti sebagian semen.
Setiap pekan, Lapas menerima pasokan 40 ton limbah batu bara kasar dan 11 ton limbah batu bara halus. Sisa pembakaran batu bara itu kemudian diolah menjadi bahan bernilai tinggi.
“Selain hemat bahan dan menekan biaya produksi, produk ini juga lebih ramah lingkungan. Limbah yang tadinya tak terpakai, kini justru menjadi sumber ekonomi baru,” ujar Beni.
Beni mengungkapkan, pabrik batako dan paving blok di Lapas Tangerang ini bermula dari ide yang muncul setelah pertemuan antara
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto dengan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara. PLN diketahui memiliki sisa pembakaran batu bara dalam jumlah besar—limbah yang berpotensi mencemari lingkungan bila tidak diolah.
Di sisi lain, Lapas memiliki sumber daya manusia yang melimpah, para warga binaan yang ingin berkarya dan belajar keterampilan baru.
“Kami melihat peluang besar di situ. PLN punya limbah, Lapas punya tenaga kerja dan semangat. Maka lahirlah kolaborasi ini,” kata Beni.
Sejak April 2025, Lapas mulai melakukan pelatihan dan uji coba. Setelah melalui proses panjang — mulai dari pelatihan teknik pencampuran, uji kekuatan laboratorium, hingga pengujian lapangan — kini produksi skala industri resmi berjalan penuh selama sebulan terakhir.
Pilihan Editor: Kerja Narapidana di Balik Terali Hasilkan Produk Ekspor
