
PENELITI dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Rani Septyarini menyoroti penggunaan alat tangkap trawl berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan. “Pada 1960, pertumbuhan produksi perikanan tangkap mencapai 21,67 persen, tetapi pada 2022 pertumbuhan hanya menyentuh 2,41 persen,” kata Rani, dalam keterangan tertulis, Selasa, 2 Desember 2025.
Rani menjelaskan angka itu berasal dari hasil penelitian gabungan yang dilakukan oleh Celios, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Melemahnya produksi perikanan pada 2022 merupakan indikasi menurunnya stok ikan yang disebabkan oleh praktik overfishing menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti trawl.
Ia kemudian mencontohkan kondisi nelayan di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Rani mengatakan penurunan hasil tangkapan di daerah itu menyebabkan nelayan tidak mampu menutupi biaya operasional. Walhasil, nelayan terjebak dalam siklus utang berlapis dan membuat tekanan sosial ekonomi yang semakin berat.
Lebih jauh, Rani mengatakan situasi ini berujung pada penyitaan rumah nelayan hingga ketidakstabilan keluarga yang memicu perceraian. Terhadap kondisi ini, ia menyarankan tiga rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi nelayan kecil di Kotabaru.
Pertama, ia berharap agar pemerintah daerah Kotabaru menerapkan penegakan aturan yang lebih jelas. Selain itu, Rani mendesak penguatan kelembagaan nelayan berupa koperasi. Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya perbaikan subsidi yang tepat guna dan akses keuangan.
Selain itu, pemerintah juga diminta meningkatkan pengawasan dan penindakan. Misalnya melakukan patroli rutin dengan melibatkan masyarakat, terutama di zona khusus untuk nelayan kecil dan tradisional. Ia juga menekankan pentingnya akses keuangan yang inklusif agar nelayan tidak terjerat pada utang yang mengancam stabilitas rumah tangga.
Sementara itu, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia Hendra Wiguna menyampaikan kerusakan ekosistem yang ditimbulkan oleh alat tangkap trawl berdampak terhadap menurunnya minat pemuda untuk menjadi nelayan. “Lantas siapa nanti yang akan memastikan tercukupi pangan dan sumber protein,“ kata dia.
Adapun Ketua Dewan Pengurus Daerah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Kotabaru Hasrifin Harifai meminta agar pelarangan alat tangkap trawl harus dibarengi dengan sosialisasi yang lebih masif, terstruktur, dan berkelanjutan kepada seluruh nelayan di wilayah pesisir. Sebab, masih banyak nelayan yang belum memahami secara menyeluruh dampak ekologis penggunaan trawl maupun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya.
Kurangnya pemahaman ini, kata dia, membuat sebagian nelayan masih menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan karena dianggap lebih cepat dan efektif. Adapun sosialisasi yang tepat tidak hanya berupa penyampaian aturan, tetapi harus memberikan pemahaman mendalam tentang manfaat menjaga ekosistem laut, termasuk peningkatan hasil tangkapan yang lebih stabil dalam jangka panjang.
Hasrifin juga menekankan pentingnya pendekatan persuasif dan edukatif agar nelayan merasa dilibatkan dan tidak sekadar diatur. Dengan pemahaman yang baik, ia optimistis nelayan dapat menyadari kerugian dari praktik penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.
Pilihan Editor: Mengapa Kapal Asing yang Dilarang Susi Pudjiastuti Bisa Kembali Beroperasi