
ANGGOTA Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat Syarif Fasha menyoroti minimnya kontribusi perusahaan hulu migas yang beroperasi di Papua Barat terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal itu ia sampaikan dalam rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Selasa, 11 November 2025.
Fasha menyebut wilayah Papua Barat memiliki dua lapangan migas besar, yaitu Blok Tangguh dan Blok Masela. Kedua blok migas itu memiliki cadangan gas yang sangat besar dan dikelola oleh empat perusahaan yaitu BP Tangguh, Genting Kasuari, Pertamina EP, dan Petrogas. Produksi gas dari wilayah tersebut disebut mencapai sekitar 4.000 MMSCFD.
Namun, ia melanjutkan, sebagian besar gas tersebut justru diekspor, terutama dari BP Tangguh dan Genting Kasuari. Sementara itu, pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik baru dilakukan oleh Pertamina EP dan Petrogas dalam skala yang jauh lebih kecil.
“Jika gas ini dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal, seharusnya masyarakat Papua tidak perlu lagi menghadapi masalah ketersediaan energi,” ujar Fasha.
Ia juga menyoroti belum adanya realisasi Participating Interest (PI) sebesar 10 persen bagi daerah, meski aturan mengamanatkan PI dapat diberikan setelah persetujuan rencana pengembangan (POD) pertama. Padahal, nilai PI tersebut diperkirakan mencapai setara 400 MMSCFD yang dapat menjadi sumber pendapatan besar bagi BUMD dan pemerintah daerah.
“Akibat tidak adanya PI, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni justru harus mengeluarkan APBD sekitar Rp 50 miliar per tahun untuk membiayai operasional genset listrik. Belum termasuk biaya Rp92 miliar yang dikeluarkan untuk pendidikan vokasi dan pelatihan SDM, tetapi hanya sedikit tenaga lokal yang terserap perusahaan,” kata dia.
Legislator Partai NasDem ini menilai kondisi tersebut menunjukkan lemahnya keberpihakan perusahaan migas terhadap pembangunan masyarakat Papua. Ia meminta SKK Migas mempercepat penyelesaian penyaluran PI 10 persen dan memastikan perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial dan komitmen peningkatan kapasitas lokal secara konsisten.
Fasha meminta Kementerian ESDM dan SKK Migas memastikan pemanfaatan sumber daya alam di Papua berjalan adil dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal, bukan hanya bagi kepentingan industri migas nasional maupun ekspor.
Selain soal migas, Fasha juga menyoroti akses listrik di wilayah Papua dan daerah terpencil lainnya yang ia sebut sebagai wilayah “4T” atau tertinggal, terpencil, terjauh, dan tak tentu nasibnya. Ia menilai pembangunan jaringan listrik PLN di wilayah dengan sebaran penduduk yang sangat sedikit tidak efisien.
Ia pun mengusulkan pemerintah mengalokasikan program bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap skala rumah tangga, dengan daya sekitar 450 watt per rumah. Menurut dia, kapasitas tersebut sudah cukup untuk kebutuhan penerangan dasar dan akses informasi melalui televisi.
“Lebih realistis memberikan PLTS rumah tangga daripada memaksakan jaringan PLN yang biayanya jauh lebih besar,” kata mantan Wali Kota Jambi dua periode tersebut.
Pilihan Editor: Pekerjaan Rumah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia