JAKARTA — Di tengah gencar-gencarnya dorongan dari Bank Indonesia (BI) agar sektor perbankan nasional memperluas sumber pendanaan dari luar negeri melalui kebijakan Rasio Pendanaan dari Luar Negeri (RPLN), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) memilih pendekatan yang berbeda. Bank swasta terbesar di Indonesia ini justru tetap kokoh mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) sebagai tulang punggung likuiditasnya.
Hera F. Haryn, Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, menegaskan bahwa posisi likuiditas perseroan saat ini berada dalam kondisi yang sangat memadai, utamanya ditopang oleh pertumbuhan DPK yang solid dan konsisten. Ia menjelaskan, bank tersebut secara strategis mengandalkan DPK sebagai sumber pendanaan utama untuk pembiayaan, dengan dana murah atau current account and savings account (CASA) menjadi kontributor paling signifikan seiring melonjaknya volume transaksi. Data per Maret 2025 menunjukkan total DPK BCA telah menembus angka Rp1.193 triliun, meningkat 6,5% secara tahunan (year-on-year/yoy). Dari jumlah tersebut, dana CASA mendominasi dengan kontribusi sebesar Rp979 triliun, atau sekitar 82% dari total DPK.
Lebih lanjut, Hera memaparkan bahwa frekuensi transaksi yang diproses BCA menunjukkan pertumbuhan impresif sebesar 19% yoy pada kuartal I/2025. Pencapaian ini, menurutnya, didukung oleh strategi hybrid banking yang menggabungkan ekosistem layanan daring (online) dan luring (offline), sebuah pendekatan yang terus dioptimalkan untuk mempertahankan posisi pasar dan mendorong pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Meskipun tidak secara eksplisit menjadikan RPLN sebagai strategi pendanaan utama, manajemen BCA menegaskan pihaknya senantiasa mencermati dan memperhatikan arahan dari regulator, termasuk ketentuan terkait penyesuaian RPLN. BCA juga selalu berkomitmen mengelola likuiditas secara pruden dan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam setiap penerapan manajemen risiko.
Berbeda dengan strategi yang diterapkan BCA, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) justru menunjukkan keterbukaan terhadap sumber pendanaan eksternal. Per Mei 2025, Bank Mandiri mencatatkan Rasio Pendanaan dari Luar Negeri (RPLN) di kisaran 22%. M. Ashidiq Iswara, Corporate Secretary Bank Mandiri, mengungkapkan bahwa posisi likuiditas perusahaan tetap kuat dan mampu mengakomodasi target pertumbuhan aset yang ambisius.
Ashidiq menambahkan, “Dalam beberapa bulan terakhir, likuiditas Bank Mandiri secara umum masih dapat mengakomodir target pertumbuhan aset yang telah ditetapkan.” Untuk memperkuat struktur pendanaan dan memastikan ketahanan likuiditas, Bank Mandiri terus menggenjot sinergi dengan mitra perbankan global. Strategi pendanaan ini diperkuat oleh jaringan Kantor Luar Negeri (KLN) dan diversifikasi instrumen pendanaan jangka pendek dari pasar internasional. Ashidiq secara khusus menyambut positif kebijakan Bank Indonesia yang mendorong perbankan nasional untuk tidak hanya bergantung pada likuiditas dari pasar domestik. Baginya, kebijakan RPLN ini memberikan ruang pengelolaan likuiditas yang jauh lebih fleksibel bagi perbankan.
“Kebijakan RPLN dari Bank Indonesia sangat mendukung Bank Mandiri untuk terus menjaga likuiditas secara prudent dan fleksibel sesuai dengan dinamika pasar yang terus berubah,” pungkas Ashidiq. Sebagai informasi, Bank Indonesia memang telah mengambil langkah signifikan dengan menaikkan batas maksimum Rasio Pendanaan dari Luar Negeri (RPLN) dari sebelumnya 30% menjadi 35% dari modal bank. Aturan ini mulai berlaku efektif sejak 1 Juni 2025, melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 12 Tahun 2025. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya strategis untuk memperluas sumber pendanaan eksternal bagi perbankan nasional, namun tetap menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.